Welcome Selamat Datang di My Blogspot http://pangearunbiru.blogspot.com/?m=0

TIKUS

Tikus dan Berbagai Cara
Pengendaliannya
Pada saat aku bertemu dengan petani dan
berbincang bincang dengan mereka, banyak sekali
permasalahan mengenai pertanian yang disampaikan
kepada ku. Pada saat itu aku merasa malu karena
kekurangan pengetahuanku sehingga aku tidak dapat
membantu mereka menyelesaikan persoalan tersebut.
Salah satu persoalan yang sering muncul adalah hama
tikus, hama ini menyerang di berbagai daerah tanpa
terkecuali, perbedannya hanya pada tingkat kerusakan
yang ditimbulkannya. Oleh karena itu aku mencoba
mempelajari hama tikus, dengan mempelajarinya
harapanku aku dapat megenal kelebihan dan
kelemahan tikus sehingga memudahkan dalam
pengendaliannya. Tulisan ku ini berasal dari berbagai
kajian pustaka, tetapi aku lebih banyak mengacu pada
buku “Pengendalian Tikus Terpadu” karangan
Priyambodo (1995). Smoga tulisanku ini bermanfaat
bagi para pembaca dan JAYALAH PERTANIAN
INDONESIA.
Pembangunan pertanian yang pernah
dilakukan di Indonesia dapat dibagi menjadi lima
yaitu :
Intensifikasi : Pengusahaan peningkatan produksi
untuk tiap kesatuan luas areal dengan berbagai
masukan (teknis maupun sosial ekonomi). Contoh :
pupuk, pestisida, bibit unggul, modal, tenaga kerja.
Rehabilitasi: Merupakan program perbaikan dan
peningkatan fungsi saluran-saluran irigasi yang telah
rusak serta meremajakan kebun-kebun yang telah
terbengkalai.
Diversifikasi : program penganekaragaman penanaman
tanaman pangan, jadi disampin produksi beras juga
ada produksi non beras. Dengan harapan masyarakat
dapat mengkonsumsi makanan bukan hanya beras
Ektensifikasi : pemanfaatan sebidang lahan agar tetap
memberikan hasil. Misalnya : pada musim kemarau
lahan sawah tidak bisa ditanami padi, untuk
memanfaatkan lahan tersebut dapat ditanami dengan
jagung
Perluasan lahan : perluasan areal untuk ditanami.
Membuka lahan baru.
Sering kita dengar istilah PHT (Pengendalian
Hama Terpadu), ada SLPHT (Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu) bagi petani. Sebenarnya
apa itu pengendalian hama terpadu?. Pada tahun
1970an hingga 1980an Indonesia melaksanakan
pembangunan pertanian yang menitik beratkan pada
intensifikasi pertanian tanaman padi melalui
penerapan panca dan sapta usahatani. Hingga pada
tahun 1984 Indonesia mengalami swa sembada beras.
Dibalik keberhasilan tersebut ternyata meninggalkan
berbagai permasalahan teutama berkaitan dengan
penurunan produksi dan kerusakan ekosistem
pertanian.
Saya teringat cerita kakek saya, pada waktu
kakek saya masih kecil kakek sering mencari ikan di
sungai dan kali kecil di depan rumah. Tidak tanggung-
tanggung jumlah ikan yang didapatkan kakek, bisa
mencapai satu “ tenggok ” besar. Tetapi sekarang jarang
dijumpai ikan lagi, populasi ikan mulai menurun
dikarenakan adanya beberapa orang yang
menggunakan racun dalam penangkapan ikan selain
itu dikarenakan pula karena msyarakat menerapkan
pestisida secara berlebihan, sehingga air dari sawah
yang mengalir kembali ke sungai menyebabkan
pencemaran sungai. Dapat diambil kesimpualn bahwa
budaya masyarakat kita yang tidak berfikir kedepan
menyebabkan kerugian yang besar. Jika saja
masyarakat benar-benar memperhatikan lingkungan
maka kata banyak orang bahwa Negeri kita ini kaya
itu pasti terbukti. Populasi ikan di sungai-sungai dapat
berkembang sehingga kebutuhan protein masyarakat
terpenuhi, padi sawah dapat dikombinasikan dengan
usahatani ikan, kebutuhan air bersih dan sehat mudah
dipenuhi, adanya suasana yang harmonis dengan
lingkungan membuat hidup menjadi nyaman. Saya
teringat dengan cerita ramayana, saat rama, sinta, dan
lesmana berkelana di hutan memenuhi janji ayahnya
kepada istri termudanya. Rama, sinta dan lesmana
merasa lebih betah tinggal di hutan daripada di
kerajaan karena memang masyarakatnya pada waktu
itu hidup harmonis dengan lingkungan.
PHT merupakan salah satu jawaban dari
permasalahan lingkungan yang dikibatkan sistem
pertanian konvensional. Konsep PHT hampir sama
dengan kehidupan yang selaras dengan lingkungan.
Perbedaannya yaitu masih diperbolehkannya
penggunaan bahan-bahan beracun yang sebenarnya
berbahaya bagi lingkungan jika dalam keadaan
terpaksa atau cara pengendalain yang lain tidak
mampu mengendalikan serangan serta populasi hama.
Dalam pelaksanaan PHT petani harus memperhatikan
ekosistem yang ada. Apa jenis hama yang menyerang,
apa saja penanganan yang dapat dilakukan sesuai
dengan kondisi dan potensi tempat tersebut.
Pengendalian hama dapat dilakukan dengan
pengkombinasian berbagai teknik pengendalian dalam
satu kesatuan untuk mencegah timbulnya kerugian
dan kerusakan lingkungan. Jadi penggunaan pestisida
dan senyara beracun lainnya adalah alternatif terakhir
atau dalam keadaan terpaksa karena teknik
pengendalian yang lain tidak dapat digunakan atau
tidak mampu mengendalikan hama yang ada.
Pada saat tertentu populasi hama tidak perlu
dikendalikan karena tidak menimbulkan ketrugian
secara ekonomis, jika dikendalikan malah akan
memberikan kerugian ekonomis karena biaya
usahatani menjadi semakin naik. Dalam langkah
menyusun PHT ada penentuan TKE (tingkat kerusakan
ekonomis), KE (kerusakan ekonomis), dan AE (ambang
ekonomis), serta posisi keseimbangan umum (PSU).
Yang terpenting adalah mengetahui AE dan TKE.
Pengendalian hama dilakukan jika telah melewati AE,
jika sudah melewati TKE maka petani akan mengalami
kerugian. Untuk menentukan perlu tidaknya
pengendalian perlu dilihat harga dipasaran terhadp
produk tersebut, jika harga produk tinggi maka
tingkat AE nya akan berbeda dengan produk yang
herganya lebih rendah. Selain hal tersebut yang perlu
diperhatikan dalam langkah-langkah PHT adalah
menentukan status hama, identifikasi, ioformasi eko
biologinya. Karena beberapa spesies menjadi hama
tergantung pada fase hidupnya misalnya ulat akan
menjadi hama saat menjadi ulat tetapi saat menjadi
kupu-kupu bukan merupakan hama lagi malah hewan
yang berjasa bagi penyerbukan tanaman. Spesies yang
menjadi hama juga perlu diketahui dengan jelas
jangan sampai salah karena nanti penangannya juga
akan salah. Musim tanam dan teknik agronomi juga
perlu mendapat perhatian.
Dari berbagai buku yang telah saya baca
kebanyakan cara PHT adalah dengan mempergunakan
predator dan parasitoid. Ini yang mungkin belum
diketahui oleh petani, karena memang untuk
menemukan serta mengembangkan predator dan
parasitoid sangat lah sulit. Oleh sebab itu perlu
pendampingan yang lebih intensif didukung dengan
sumberdaya pendamping yang mencukupi dalam
pelatihan-pelatihan PHT serta SLPHT agar petani
mampu menerapkan alternatif-alternatif pengendalian
yang terbaik dalam usahataninya. Perbedaan antara
parasitoid dan predator antara lain :
1. predator ukurannya lebih besar dibandingkan
inangnya, sedangkan parasitoid lebih kecil.
2. Predator cenderung menjadi pemakan umum,
sedangkan parasitoid hanya menyerang satu inang
dalam satu fase hidupnya
3. Spesiasi (ruang gerak) predator dan radiasinya
(penyebarannya) terbatas, sedangkan parasitoid
lebih luas.
PHT merupakan bagian dari sistem pertanian
yang berkelanjutan dalam pendalian tikus ini Saya
juga mengacu pada PHT. Berikut adalah pengenalan
tikus dan beberapa cara pengendaliannya.......
Kehidupan tikus sangat dekat dengan
kehidupan manusia, tikus dapat hidup di rumah-
rumah, gudang, sawah, perkebunan, dan sebagainya.
Tikus dapat berperan sebagai hewan yang bermanfaat
dan dapat berperan sebagai hewan yang merugikan
kehidupan manusia. Sebagai hewan yang bermanfaat
tikus dapat berguna sebagai hewan percobaan
laboratorium dan sebagai hewan yang merugikan
tikus dapat menjadi hama bagi tanaman pertanian dan
penyebaran penyakit bagi manusia. Suatu hewan
disebut sebagai hama karena hewan tersebut menjadi
pengganggu dalam budidaya tanaman. Penyebutan
hama itu sendiri didasarkan pada persepsi manusia
sendiri, jika menurutnya mengganggu usahatani maka
disebut sebagai hama.
Pada awalnya tikus hanya berada di benua
Asia, penyebaran tikus terjadi seiring dengan adanya
migrasi penduduk antar benua. Pada jaman dahulu
tikus dijadikan sebagai hewan yang menjadi pertanda
apakah pertanian disuatu tempat akan maju atau tidak,
hal tersebut berkaitan dengan ciri khas tikus yang
hanya hidup di daerah yang kebutuhan pakannya
cukup. Sehingga jika suatu tempat kebutuhan
pakannya kurang maka tikus akan ber migrasi ke
tempat lain.
Sifat hubungan tikus dengan manusia lebih cenderung
parasitisme. Tikus mendapat keuntungan tetapi
manusia mendapat kerugian. Dibandingkan dengan
hama lainnya tikus memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh hama serangga, yaitu :
1. Tikus dapat merusak tanaman budidaya dalam
waktu yang singkat dan dalam jumlah kerusakan
yang besar, walaupun hal tersebut dilakukan oleh
beberapa ekor tikus saja. Dalam satu malam satu
tikus sawah rata-rata dapat merusak tanaman padi
sebanyak 649,72 tunas IR64 dan 716 tunas untuk
Cisadane.
2. Tikus menyerang tanaman dalam berbagai stadia
umur. Mulai dari pembibitan, fase vegetatif, vase
generatif, panen, dan pasca panen
3. Tikus dapat mempberikan tanggapan terhadap
kegiatan pengendalian yang dilakukan manusia
baik itu menghindari (tidak memakan umpan
beracun yang pernah diberikan sebelumnya)
maupun menghadapi (mengahadapi musuh
alaminya/predator).Walaupun hal tersebut juga
dilakukan oleh hama serangga tetapi tingkat
tresponnya lebih kecil dibangdingkan dengan tikus
4. Tikus mempunyai mobilitas yang tinggi dengan
kedua tungkainya. Pada keadaan daerah yang
kurang mendukung untuk kebutuhan pangan tikus
dapat melakukan migrasi sejauh 700m atau lebih,
pada keadaan pakan tercukupi tikus keluar sarang
sejaun 20m hingga 200m saja. Tikus juga dapat
berpindah tempat dengan memanfaatkan
transportasi yang dimiliki manusia. Misalnya pada
penyebaran tikus pada mulanya yaitu dengan
menumpang kapal laun hingga tikus menyebar di
seluruh dunia.
Klasifikasi tikus
Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Subfilim : Vertebrata (Craniata)
Kelas : mammalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutheria
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Bandicota, Rattus, dan Mus
Ada sekitar 8 spesies yang paling berperan
sebagai hama tanaman pertanian dan vektor patogen
manusia. Kedelapan spesies tersebut adalah :
1. Bandicota indica (tikus wirok), habitatnya di
gudang, pasar, perumahan, pertanaman padi dan
tebu
2. Rattus norvegicus (tikus riul), habitatnya di gudang,
selokan, dan rumah
3. Rattus-rattus diardii (tikus rumah), habitatnya di
perkebunan, hutan sekunder, semak belukar,
pekarangan
4. Rattus tiomanicus (tikus pohon), habitatnya di
rumah dan gudang
5. Rattus argentiventer (tikus sawah), habitatnya di
sawah ketinggian <1500mdpl
6. Rattus exulans (tikus ladang), habitatnya di sawah,
ladang ketinggian <1200>
7. Mus musculus (mencit rumah, habitatnya di rumah
dan gudang
8. Mus caroli (mencit ladang), habitatnya di ladang,
dan sawah
Tikus dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu hewan pemanjat (arboreal) dan hewan penggali
(terestrial). Hewan terestrial dicirikan dengan ekor
relatif pendek terhadap kepala dan badan, serta
tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan halus
(tikus wirok, tikus riul, tikus sawah, mencit ladang).
Hewan arboreal dicirikan dengan ekor yang panjang
serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar
(tikus pohon, tikus rumah, tikus ladang, mencit
rumah).
Salah satu ciri dari tikus sebagai hewan pengerat
adalah kemampuannya untuk mengerat benda-benda
yang keras dengan maksud untuk mengurangi
pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh secara terus
menerus. Perttumbuhan secara terus menerus
tersebut diakibatkan karena tidak adanya penyempitan
pada bagian pangkal sehingga terdapat celah yang
mengakibatkan pertumbuhan tersu menerus. Aktivitas
pengeratan tersebut banyak menimbulkan kerugian
antara lain rusaknya kabel listrik, kayu kuda-kuda
rumah, fondasi, dsb. Di rumah-rumah sering dijumpai
cerucut, cerucut bukan merupakan hewan pengerat
susunan giginya dengan tikus jauh berbeda. Makanan
utama cerucut adalah serangga (protein hewani), ini
dapat dilihat dari kotorannya yang basah. Kotoran
tikus yang kering menandakan bahwa makanannya
berasal dari serat atau serealia. Ciri cerucut yang
lainnya adalah mengeluarkan bau dari kelenjar bau
yang dekat dengan lubang anus.
A. Biologi Tikus
1. Kemampuan Indera Tikus
Tikus merupakan hewan yang aktif
pada malam hari (nokturnal) dan memliki
kepekaan terhadap cahaya. Dalam cahaya
remang-remang mampu mengenali benda yang
jauhnya 10-15 m di depannya. Tikus
merupakan hewan yang buta warna sebagian
besar warna yang ditangkap oleh htikus adalah
warna kelabu. Ada kecenderungan tikus
tertarik dengan warna kuning dan hijau terang
yang ditangkap sebagai warna kelabu cerah.
Warna-warna tersebut dapat digunakan untuk
menarik tikus pada umpan, selain itu kedua
warna tersebut dapat digunakan untuk
mengusir burung.
Tikus memiliki indera penciuman yang
berkembang dengan baik. Penciuman yang baik
ini digunakan untuk mencium urine dan
sekresi genitalia untuk menandai wilayah
pergerakan tikus lainnya, serta mendetaksi
tikus betina yang sedang birahi. Indera
penciuman tersebut dapat dimanfaatkan untuk
menarik atau mengusir tikua dari suatu
tempat. Salah satu contoh untuk menarik tikus
jantan dapat mengunakan bahan kimia
(attractant).
Suara ultarsonik digunakan oleh tikus
untuk melakukan komunikasi sosial, terutama
pada tikus jantan. Tikus jantan mengeluarkan
suara tersebut pada saat melakukan aktivitas
seksual maupun berkelahi dengan tikus jantan
lainnya untuk menentukan daerah kekuasaan.
Tikus memiliki kemampuan untuk
mendeteksi zat-zat yang pahit, bersifat toksit,
atau berasa tidak enak. Ini berhubungan
dengan pengendalian tikus dengan
menggunakan umpan racun. Kemampuan
tersebut menyebabkan tikus menolak
memakan racun dan masalah dosis racun yang
tidak mampu membunuh tikus (sub-lethal).
Indera peraba tikus yang berupa kumis
dan rambut pada tepi tubuh membantu tikus
dalam pergerakan di malam hari. Bentuk
rabaan tersebut dapat berupa sentuhan dengan
lantai, dinding, benda-benda yang berada di
dekatnya. Biasanya tikus bergerak antarobyek
melalui suatu jalan khusus yang selalu diulang-
ulang yang disebut dengan run-way. Tingkah
laku tikus seperti itu disebut dengan
thigmotaxis. Hal tersebut dapat dimanfaatkan
manusia untik meletakkan unpan atau
perangkap pada jalan yang biasanya dilalui
tikus tersebut.
2. Kemampuan Fisik Tikus
Kemampuan untuk menggali dimiliki
oleh tikus terestrial, penggalian ini bertujuan
untuk membuat sarang yang biasanya
kedalamannya 50cm -200cm (pada tanah-tanah
yang gembur). Kemampuan memanjat dimiliki
oleh tikus arboreal, ciri yang menonjol adalah
panjang ekornya yang lebih panjang
dibandingkan dengan badan dan kepala. Ekor
yang panjang ini berfungsi sebagai alat
keseimbangan, dan tidak dimiliki oleh tikus
terestrial.
Tikus dapat meloncat secara vertikal
(77cm) dan secara horisontal (240cm), jarak
loncatan dapat menjadi lebih jauh lagi apabila
tikus memuali dengan berlari.
Tikus dapat mengerat benda-benda
yang yang keras sampai nilai 5,5 pada skala
kekerasan geologi, sehingga banyak yang
menggunakan besi logam sebagai penghalang
mekanis dari gangguan tikus.
Tikus mampu berenang selama 50-72
jam pada suatu bak dengan suhu 350c. Dan
kemampuan menyelam 30 detik.
3. Reproduksi
Tikus merupakan hewan yang
mempunyai kemampuan reproduksi yang
tinggi bila dibandingkan dengan hewan
menyusui lainnya. Hal ini ditunjang oleh
berbagai faktor sebagai berikut :
a. Matang seksual cepat yaitu antara 2-3 bulan
b. Masa buntung singkat yaitu antara 21-23
hari
c. Terjadi post partum oestrus, yaitu timbulnya
birahi kembali segera (24-48 jam) setelah
melahirkan.
d. Dapat melahirkan sepanjang tahun tanpa
mengnal musim yaitu sebagai hewan
polistrus
e. Melahirkan keturunan dalam jumlah yang
banyak, yaitu 3-12 ekor dengan 6 ekor
perkelahiran. Bahkan untuk tikus sawah
dalam keadaan pakan yang cukup
berkualitas dan kuantitas, mampu
malahirkan anak mencapai 16 ekor.
Kemampuan tikus untuk bereproduksi
demikian sangat mempengaruhi upaya
pengendalian, karena ketika jumlah tikus
dirasakan sedikit petani tidak lagi melakukan
pengendalian sehingga terjadi ledakan jumlah
tikus lagi. Kemampuan reproduksi tikus
dipengaruhi oleh cuaca, iklim yang optimum,
dan yang paling berpengaruh adalah kondisi
pakan baik kualitas maupun kuantitas.
Berkaitan dengan kualitas sumber pakan yang
berasal dari serealia (padi-padian) merupakan
pakan yang memiliki kualitas yang paling baik.
4. Pakan dan Perilaku Makan
Tikus merupakan hewan omnivora,
hampir semua makanan yang dapat dimakan
oleh manusia dapat dimakan pula oleh tikus.
Walaupun demiikian tikus lebih senang dengan
biji-bijian (serealia) seperti padi, jagung,
gandum. Selain serealia tikus juga dapat
memakan kang-kacangan, umbi-umbian,
daging, ikan, telur, buah-buahan dan sayur-
sayuran..
Air dapat diambil dari air bebas dan
dari makanan mengandung air yang dimakan.
Kebutuhan pakan seekor tikus kurang lebih
10% dari bobot tubuhnya (pakan kering), dan
dapat meningkat menjadi 15% (jika pakan
tersebut pakan basah)
Tikus memiliki cara makan yang unik
yaitu mencicipi terlebih dahulu untuk melihat
reaksi yang terjadi di tubuhnya sebelum
memakan seluruhnya. Jika tidak terjadi rekasi
didalam tubuhnya maka tikus akan memakan
dalam jumlah yang lebih banyak, dan
seterusnya sampai pakan tersebut habis.
Dengan melihat perilaku tikus yang demikian
pengendalian tikus secara kimiawi dengan
menggunakan racun akur(bekerja dengan
cepat) perlu menggunakan umpan
pendahuluan(prebaitting) yang tidak
mengandung racun. Jika tidak menggunakan
umpan pendahuluan tikus dapat mengalami
jera umpan sehingga ketika diberikan umpan
lagi tikus tidak mau memakannya.
5. Pergerakan
Tikus melakukan jelajah harian untuk
mencri pakan, minum, mencari pasangan, dan
orientasi kaweasan. Selama mengadakan
orientasi kawasan tikus akan mengenai
lingkungan yang ada baik itu pakan yang
disukai, minuman dan sebagainya. Sehingga
tikus akan mengenali benda asing (umpan)
yang berada di lingkungannya. Aktivitas
harian tikus antara 30 sampai 200m. Tetapi
pada keadaan pakan yang tidak mencukupi
tikus dapat bergerak 700m atau bahkan lebih
dari sarang.
6. Perilaku Sosial
Pada populasi rendah sampai sedang
tikus jantan memiliki kedudukan yang tinggi.
Tetapi pada keadaan populasi yang tinggi tikus
jantan yang lemah akan kalah dan
meninggalkan populasi sebelumnya kemudian
membuat populasi baru dengan tikus betina.
7. Ekologi Tikus
Naik turunnya populasi tikus
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
secara umum dapat dikelompokkan menjadi
faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor biotik : air untuk minum dan
sarang, cuaca sebagai pengaruh tidak langsung
yaitu mempengaruhi pertumbuhan tanaman
dan hewan-hewan kecil sebagai sumber
pangan tikus. Faktor biotik yang penting dalam
mengatur populasi tikus adalah : Tumbuhan
atau hewan kecil (sumber pakan), patogen
(penyebab penyakit), predator (pemangsa), dan
manusia.
Sarang tikus berfungsi untuk
bersembunyi dari musuh,
melahirkan ,menyimpan makanan, tempat
beristirahat, dan berlindung dari pengaruh
lingkungan.
Predator tikus dapat dibedakan
menjadi : repil (ular dan biawak), avea
(burung hantu, elang, alap-alap), dan mamalia
(kucing, anjing, garangan, musang, rubah,
tikus-tikus besar). Peranan predator tersebut
dalam menurunkan populasi tikus dirasa
kurang begitu nyata karena :
a. Populasi predator tikus sekarang sudah
mulai menurun
b. Tikus berada ditampat yang sukar dijangkau
oleh predator (nerada di sarang)
c. Aktivitas predator kebanykan di siang hari
sedangkan tikus mencari makan di malam
hari
d. Kemampuan memangsa predator yang
rendah sehingga kalah dengan populasi
tikus.
B. Pengendalian Tikus
1. Yang perlu diperhatikan ketika melakukan
pengendalian hama tikus adalah :
a. Kemampuan mengidentifikasi spesies-
spesies tikus yang jarang menimbulkan
masalah
b. Mengetahui biologi dan perilaku
(kebiasaaan) tikus antara lain tempat
tinggal, pergerakan, dan kebiasaan makan
c. Mengetahui tanda-tanda kehadiran tikus
Keberadaan tikus dapat dilihat dari
feses yang dikeluarkan, keberadaan feses
juga dapat sebagai penanda apakah tikus
tersebut masih ada di daerah tersebut atau
sudah pergi. Feses yang masih basah
menandakan bahwa tikus masih
beraktivitas di tempat tersebut. Selain
dapat dilihat dari feses atau kotoran
keberadaan tikus juga dapat dilihat dari
kerusakan yang ditimbulkannya, biasanya
terdapat bekas keratan pada tanaman.
Keberadaan tikus juga dapat dilihat dari
jalan yang biasa dilewatinya (run way)
dimana pada run way tersebut terdapat
jejak kaki. Sarang juga dapat sebagai
penanda adakah tikus di tempat tersebut,
untuk mengetahui apakah lubang atau
sarang masih digunakan dapat dengan jalan
menutup lubang dengan gundukan tanah ,
jika gundukan tanah tersebut berlubang
maka sarang masih aktif.
d. Mengetahui formiula yang tepat dalam
menggunakan rodentisida
e. Mengetahui permasalahan resistensi tikus
f. Mengetahui dampak penggunaan ridentisida
bagi lingkungan, hewan ternak, dan
manusia.
2. Metode pengendalian
Tikus dapat menyerang padi pada
berbagai stadia pertumbuhan, tetapi tikus
paling senang menyerang padi pada stadia
generatif. Pad stadia generatif tikus biasanya
memakan bulir dan malai padi. Pada stadia
persemaian tikus mencabut tanaman padi yang
baru tumbuh untuk memakan bagian biji yang
masih tersisa. Pada stadia vegetatif tikus
memakan batangnya dengan cara memotong
pangkal batang. Secara umum metode
pengendalian tikus sama dengan pengendalian
hama-hama yang lain. Pengendalian tikus
hendaknya menggunakan konsep PHT dimana
penggunaan pestisida atau rodentisida hanya
digunakan pada kondisi terpaksa atau jika
metode yang lain sudah tidak mampu
menanggulangi populasi hama tikus. Berukut
beberapa metode dalam pengendalian tikus :
a. Pengendalian secara kultur teknis
Pengendalian secara kultur teknis
merupakan cara pengendalian dengan
membuat lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi kehidupan dan
perkembangan populasi tikus. Beberapa
cara pengendalian secara kultur teknis
adalah sebagai berikut :
1) Pengaturan pola tanam
Pengaturan pola tanam hanya
berlaku pada tanaman semusim.
Dengan melakukan pengaturan pola
tanam maka keberadan pakan bagi
tikus tidak kontinyu sehingga
populasinya dapat menurun. Pergiliran
pola tanam antara lain dapat padi – padi
– palawija / padi – palawija – palawija /
padi – palawija – padi. Dengan
demikian maka kebutuhan pakan tikus
ajan semain berkurang, karena serealia
merupakan pakan yang berkualitas baik
bagi tikus jika pakan tersebut
berkurang atau tidak ada maka
populasinya akan menurun. Palawija
yang dapat digunakan sebagai tanaman
berikutnya adalah jagung, kacang
tanah, kedelai, sayur-sayuran, ubi jalar,
ubi kayu. Atau dapat juga di rotasi
dengan sayuran jika kondisi di tempat
tersebut cocok untuk ditanami sayuran.
2) Pengaturan waktu tanam
Pengaturan waktu tanam
serempak dapat mengurangi kerugian
persatuan luas yang diakibatkan oleh
tikus karena kerusakannya menyebar.
Selain itu dengan adanya waktu panen
yang bersamaan membuat sumber
pangan bagi tikus tidak kontinyu,
sehingga tikus kehilangan kesempatan
untuk berkembang biak secara
kontinyu. Karena keadaan pakan yang
ada pada waktu tertentu saja maka
pertumbuhan populasi tikus dapat
diperkirakan. Waktu tanam serempak
harus dilakukan oleh petani-petani
minimum dalah areal lahan seluas
100Ha, mengingat tikus memiliki
mobilisasi mencapai lebih dari 700m
dari sarang.
3) Pengaturan jarak tanam
Tikus sangat menyukai tempat
tempat yang berantakan, semprawut,
kotor, sehingga melalui pengaturan
jarak tanam populasi tikus dapat
ditekan karena lingkungannya tidak
disenagi. Tikus paling tidak suka
bergerak di tempat yang terbuka, tikus
lebih sengang bersembunyi, sehingga
kalau di lihat pada lahan pertanaman
yang terserang oleh tikus, lahan pada
bagian tengah lah yang diserang,
sedangkan pada bagian tepi dekat
dengan pematang tidak diserang. Ada
dua hal yang menyebabkan tikus lebih
senang menyerang pada bagian tengah
lahan. Yang pertama adalah untuk
melindungi sarang yang berada pada
pematang agar tidak terlihat, sehingga
tanaman yang berada di dekat
pematang tidak diserang. Yang kedua
adalah dengan menyerang pada vagian
tengah lahan maka tikus terhindar dari
gangguan manusia. Pengaturan jarak
tanam ini dapat disesuaikan dengan
pola tanam, misalnya pada musim
pertanaman pertama jarak tanamnya
diperlebar, tetapi pada musim
pertanaman ke dua jarak tanamnya di
kembalikan seperti jarak tanam yang
sebenarnya.
Pengaturan jarak tanam juga
dapat dilakukan dengan cara tanam
Legowo, dimana nantinya jarak antar
baris pertanaman menjadi lebar
sehingga tikus takut untuk menyerang
pada bagian tengah lahan dan bagian
tepi lahan.
4) Penggunaan tanaman perangkap (trap
crop)
Penggunaan tanaman perangkap
adalah cara pengendalian tikus dengan
menanami terlebih dahulu lahan yang
berada di tengah-tengah areal
persawahan, kemudian baru menanami
daerah disekitar lahan tersebut. Cara
tersebut dimaksudkan agar tanaman
pada lahan yang berada di tengah
mengalami fase generatif lebih awal
sehingga serangan tikus akan terpusat
pad lahan tersebut, untuk selanjutnya
dapat dilakukan gropyokan. Atau dapat
juga menanam varietas padi yang
berumur pendek pada bagian tengah
areal pertanaman
b. Pengendalian secara sanitasi
Sesuai dengan ciri khas tikus yang
tidak suka dengan tempat terbuka maka
pengendaliannya dapat dengan cara
melakukan pembersihan gulma di sekitar
tanaman. Dengan demikian tikus juga akan
kehilangan sumber pakan alternatif pada
saat bera.
c. Pengndalian secara fisik-mekanis
Pengendalian sercara fisik
merupakan usaha manusia untuk merubah
faktor lingkungan fisik agar dapat
menyebabkan kematian pada tikus. Faktor
fisik tersebut dapat dirubah diatas atau
dibawah toleran tikus. Pada prinsipnya
pengendalian secara fisik dan mekanis
adalah sebagai berikut :
1) Membunuh tikus secara langsung
dengan bantuan alat-alat
2) Mengusir tikus dengan bermacam-
macam alat yang tidak bersifat kimia
( menggunakan sinar
ultraviolet,gelombang elektro magnetik,
dan suara ultrasonik)
3) Melingdungi tanaman dari serangan
tikus
Salah satu pengndalian secara fisik
dan mekanis adalah penggunaan pagar
plastik, penggunaan pagar plastik
dimaksudkan untuk menghalau tikus
memasuki areal pertanaman. Biasanya
diterapkan pada lahan persemaian dan
dikombinasikan dengan perangkap yang
ditaruh atau diletakkan pada pintu masuk
persemaian. Jika populasi tikus banyak dan
modal usahatani besar maka teknik ini
dapat dipergunakan, pada intinya
penggunaan pagar plastik akan membuat
tikus tidak dapat memasuki lahan
persemaian sehingga tikus akan berusaha
mencari jalan masuk, pada jalan masuk
tersebut dapat dipasangi perangkap.
Gropyokan juga merupakan
pengendalian fisik mekanis, biasanya
kegiatan ini yang sering dilakukan oleh
banyak petani yang pernah Saya temui.
Selain adanya rasa puas karena melihat
secara langsung tikus yang mati,
pengendalian secara gropyokan juga
memupuk rasa kegotongroyongan karena
dilakukan secara bersama-sama.
Gropyokan pada lahan sawah biasanya
ditujukan pada sarang tikus masih aktif
yang berada di pematng sawah atau lahan
tidak ditanami yang berada disekitar
sawah. Tindakan untuk mengeluarkan
tikus dari liangnya dapat dengan cara
menggenangi liang dan membongkar liang,
agar tidak merusak tanaman kegiatan ini
dapat dilakukan pada saat pasca panen.
Gropyokan yang dilakukan di malam hari
dengan bantuan lampu petromak juga
efektif karena pergerakan tikus akan
lambat karena lampu petromaks (mata
tikus menjadi tidak jelas pandangannya
saat terkena cahaya terang). Dalam
gropyokan digunakan pula barang-barang
dari logam dan bambu yang dipukul-pukul
untuk mengusir tikus dari sarangnya dan
digiring menuju perangkap bisanya berupa
jaring yang pasang di dekat pematang
sawah atau tempat terbuka, selanjutnya
tikus dapat dibunus secara beramai-ramai
di tempat tersebut.
d. Pengendalian secara biologis atau hayati
Pengendalian secara hayati
dilakukan dengan penggunaan parasit,
predator, atau patogen untuk mengurangi
bahkan menghilangkan populasi tikus pada
suatu habitat.predator tikus dapat dibagi
berdasarkan klasifikasinya yaitu kelas
reptilia (hewan melata), kelas aves
(burung), dan kelas mamalia (hewan
menyusui). Secara ekologis kelas aves
merupakan predator terbaik dalam mencari
dan mengkonsumsi mangsanya, diikuti
kelas mamalia dan terakhir reptilia. Kelas
avea memiliki laju fisiologi tertinggi
sehingga mampu mengkonsumsi tikus
dalam jumlah tinggi. Dari ketiga kelas
predator tersebut dalam hal memangsa
tikus dapat dibauat perbandingan sebagai
berikut Aves (10) : Mamalia (4) : Reptilia
(1).
Dalam kelas aves beberapa spesies
yang menjadi predator tikus adalah Tyto
alba (burung hantu putih), Bubo ketupu
(burung hantu cokelat), Nyctitorac
nyctitorac (burung alap alap tikus).
Dalam kelas Mamalia beberapa
spesies yang menjadi predator tikus adalah
Paradoxurus hermaphroditus (musang atau
luwak), Viverricula malaccensis (musang
bulan), Herpetes javanicus (garangan), Felis
catus (kucing), dan Canis familiaris (anjing)
Dalam kelas Reptilia yang menjadi
predator tikus adalah Ptyas koros (ular
tikus), Naja naja (ular kobra), Ophiphagus
hannah (ular kobra raksasa), Trimeresurus
hagleri (ular hijau), dan Phyton reticulatus
(ular sanca).
e. Pengendalian secara kimiawi
Pengendalian kimiawi didefinisikan
sebagai penggunaan bahan-bahan yang
dapat membunuh tikus atau dapat
mengganggu aktivitas tikus, baik aktivitas
untuk makan, minum, mencari pasangan,
maupun reproduksinya. Secara umum
pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat
dibagi menjadi empat yaitu :
1) Penggunaan umpan beracun (racun
perut)
Berdasarkan cara kerjanya racun tikus
dapat dibagi kedalam 2 macam :
a) Racun akut, bekerja cepat dengan
cara merusak sistem syaraf tikus
(Arsenik trioksida, Bromethalin,
crimidine, alpha chloralose, ANTU,
Norbornmide, red squill, dsb).
Cocok diterapkan pada saat populasi
tikus tinggi.
b) Racun kronis (antikoagulan), bekerja
lambat dengan cara menghambat
proses koagulasi atau
penggumpalan darah serta
memecah pembuluh darah kapiler
(antikoagulan 1 : Warfarin,
Fumarin, Courmachlor, dsb.
Antikoagulan 2 : Diphenacoum,
brodifacoum, Flocumafen,
Bromadiolone). Cocok diterapkan
pada populasi tikus yang tersisa
setelah penerapan racun akut.
Secara umum perbedaan dua
macam racun ini terdapat pada
penerapan di lapang dan efek pada
tikus. Pada penerapan di lapang racun
akut membutuhkan umpan
pendahuluan dan kebutuhan umpan
yang beracun sedikit sedangkan racun
kronis tidak membutuhkan umpan
pendahuluan, karena rekasinya yang
lambat maka dibutuhkan banyak
umpan yang mengandung racun. Efek
pada tikus untuk racun akut adalah
langsung membunuh tikus, dan jika
tidak diberi umpan pendahuluan dapat
menyebabkan jera umpan. Pada racun
kronis adalah membunuh secara
perlahan sehingga kadang tikus malah
menjadi resisten terhadap racun
tersebut.
Menurut Surachman dan
Widodo (2007) pengendalian tikus dapat
menggunakan umpan anti koagulan
Brodifakum 0,005 RMB. Penerapan yang
tepat adalah pada saaat padi memasuki
fase vegetatif karena tikus habis
beranak dan menyusui anaknya.
Setelah memakan umpan tersebut
dalam 3-4 hari tikus akan mati.
2) Penggunaan bahan fumigan (racun
nafas)
Fumigasi adalah proses
peracunan tikus beserta ektoparasitnya
dengan menggunakan gas beracun
(fumigan). Fumigan ini berbahaya
bukan hanya bagi tikus tetapi juga bagi
manusia dan hewan lain yang berada di
sekitar tempat fumigasi. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebelum
melakukan fumigasi yaitu :
a. Fumigan yang akan digunakan harus
mempunyai berat molekul lebih
dari 28 (berat molekul N2 di udara)
b. Kelembapan relatif udara di dalam
sarang tikus harus tinggi dan
ukuran partikel tanah yang kecil
sehingga gas beracun tidak keluar
melalui celah-celah tanah.
Fumigan ini dapat berupa
Hidrogen sianida (HCN), Karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO 2),
metil bromida (CH 3Br), Kloropikrin
(CCl3NO2), Hidogen fosfosida (PH3).
Racun nafas juga dapat bibuat
melalui pembakaran merang, serabut
kelapa, atau klaras daun pisang yang
kadang-kadang ditambahkan belerang
sehingga menghasilkan gas CO, CO2,
dan SO2. perbandingan merang dengan
belerang biasanya 13 : 1. Penggunaan
racun nafas lebih baik pada saat
tanaman memasuki fase generatif
karena induk tikus baru melahirkan
dan menyusui anak-anaknya.
3) Penggunaan bahan kimia penolak
(repellent) atau bahan kimia penarik
(attractant),
Attractant merupkan bahan
kimia penarik tikus agar tikus
mendekati umpan atau masuk
perangkap. Attractant menarik tikus
melalui bau yang ditimbulkannya.
Salah satu attractant yang memberikan
hasil efektif adalah penggunaan urine
tikus betina yang memasuki fase estrus
untuk menarik tikus jantan.
4) Penggunaan bahan kimia pemandul
(chemosterilant)
Bahan kimia pemandul
merupakan bahan kimia yang
menyebabkan kemunduran reproduksi,
baik secara permanen maupun
sementara. Contoh : mestranol,
hexastrol, oestrogenic streroid,
diosgenin. Dalam penerapannya bahan-
bahan kimia tersebut perlu
menggunakan umpan pendahuluan.

Daftar Pustaka

Oka, Ida Nyoman. 2005. Pengendalian Hama Terpadu.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Priyambodo, Swastiko. 1995. Pengendalian hama Tikus
Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Surachman, Enceng dan Widodo Agus S. 2007. Hama
Tanaman. Kanisius. Yogyakarta

No comments: